NARQWE

NARQWE
ini adalah salah satu lambang dari marhalah priode 2010-2011 yang diberi nama man has latest narqwe

Blog Archive

Minggu, 20 Maret 2011

MERAMBAH JALAN SUFI DALAM PENCAPAIAN KESEMPURNAAN HIDUP

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia saat ini telah memasuki pase tatanan kehidupan yang modern, dimana seluruh aspek dalam kehidupan manusia yang berupa kebutuhan materi bagi keperluan hidup telah semakin mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh kebutuhan hidup itu, sejalan dengan kemakmuran, kemajuan teknologi dan kemudahan dalam penyelenggaraan kehidupan sehari-hari. Keadaan ini telah melahirkan gaya hidup yang serba cepat, serba instan yang pada gilirannya membawa pada kehidupan yang makin pragmatis, dimana tuntunan pada setiap individu begitu tinggi, dan membutuhkan kecepatan dalam pemenuhannya. Pada saat yang bersamaan perasaan masyarakat semakin bergaya hidup yang bersifat materialisme, yakni tumpuan hidup di sandarkan kepada dunia materi yang pada giliranya telah melahirkan sikap hedonisme.

Konsekwensi dari keadaan ini, kemudian menimbulkan kehidupan manusia modern yang penuh dengan kompetisi yang makin ketat dalam peraihan kesempatan dan tujuan hidup manusia modern. Akibat lanjutannya adalah suasana ‘damai’ yang tertib dan teratur dalam kehidupan sosial makin menjauh, bahkan keadaan seperti ini menurut Haidar Bagir justru telah melahirkan pressure yang terkadang tak tertahankan dalam suasana kehidupan (Shihab, 2009 : v). Gambaran manusia modern seperti itu, menjadi semakin kekurangan waktu untuk memelihara kebersamaan dalam kehidupan keluarga dan bersosialisasi. Pada gilirannya, semua ekses itu telah mengoyahkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Keseimbangan antara kepentingan pribadi (individu) dengan kepentingan umum/bersama (masyarakat) menjadi tidak selaras, manusia modern menjadi semakin bersikap individualis.

Sementara itu, kehidupan yang serba materi yang didambakan manusia modern untuk pemuasan kebutuhan hidup justru mendapatkan kenyataan yang sebaliknya. Sebab secara bersamaan kekosongan jiwa yang dialami manusia modern saat ini, dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material. Hidup yang bergeliman dengan kemakmuran materi tidak dengan sendirinya membawa kebahagian, malahan kekosongan jiwa yang dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material. Hal ini seolah mengajarkan betapa kebahagian sesungguhnya tidak terletak di sana, melainkan di bagian yang lebih bersifat ruhani (spiritual). Apalagi kenyataan meterialisme dan hedonisme yang diasumsikan dapat membawa kebagian, justru semakin menjauhkan dan mengasingkan manusia dari kontek zamannya. Oleh karena itu menurut Amin Syukur, tidaklah mengherankan kalau pengalaman keagamaan (religious experience) semakin didambakan orang untuk mendapatkan apa yang disebut sebagai manisnya spiritual (the teste of spiritualiy) (Anas, 2003 : xiii).

Fenomena kerinduan akan suasana spiritual yang menyejukan jiwa itu dapat disaksikan dari maraknya antusiasme masyarakat, terutama di perkotaan terhadap perkumpulan keagamaan, majlis - majlis dzikir dan pelatihan - pelatihan yang mengolah ruhani (spiritual).. Selain itu, gejala kegandrungan jiwa juga ditandai dengan semakin maraknya wisata agama, ziarah ke tempat - tempat yang bernuansa mistis – spiritual. Gejala itu bisa disaksikan dengan makin maraknya kegiatan-kegiatan yang membangkitkan kesadaran/kecerdasan ruhani atau spiritual. Makin maraknya trend pada kelas menengah di perkotaan ketika mengisi liburan dengan melakukan perjalanan wisata agama, termasuk melaksanakan umroh ke Tanah Suci. Selain itu, gejala tumbuh suburnya perkumpulan yang menyelenggarakan kajian tasawuf yang dilaksanakan di hotel-hotel berbintang –walaupun sebenarnya bertentangan dengan tradisi tasawuf sendiri yang menekakan kesederhanaan- dapat dipahami sebagai repleksi dari kegandrungan masyarakat modern akan kesejukan suasana batin (ruhani).

Fenomena di atas, dan antusiasme yang begitu massif dari komunitas masyarakat muslim untuk kehilangan banyak waktu dan harta hanya sekedar “menangis” bersama dalam forum keagamaan, majlis dzikir, dan sebagainya. Keadaan ini meskipun menurut sebagian orang dipandang tidak rasional, bertentangan dengan logika umum, akan tetapi faktanya menunjukkan perkermbangan yang makin semarak. Keadaan seperti ini menurut Amin Syukur, tidak lain karena persoalan the taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran semata, melainkan ia merupakan persoalan rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna hidup (the meaning of life) yang tak dapat dinilai harganya apalagi pada suasana kehidupan modern seperti saat ini (Anas, 2004 : xiii).

Ketika kegersangan spiritual semakin meluas sebagaimana terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin didambakan orang untuk mendapat manisnya spritualitas (the taste of spirituality). Dalam kenyataanya masyarakat modern yang galau dengan hiruk-pikuk kegitan hidup dalam keseharian, menimbulkan rasa bosan dengan rutinitas yang pada gilirannya mendatangkan kegersangan jiwa. Makna dan arti kehidupan menjadi makin tak bisa dipahami, sebab kesuksesan yang diraih justru tidak pernah mendatangkan kebabagian yang hakiki yakni ketenangan batin. Pada posisi seperti itulah pencarian makna hidup yang mampu memberikan ketenangan dalam jiwa dan kesejukan ruhani selalu akan dicari bagi masyarakat modern.

Kerinduan akan suasana ruhani yang sejuk dan tenang biasanya dapat digapai melalui pengalaman keagamaan, maka bagi masyarakat modern membutuhkan ritual-ritual tertentu guna mencapai kesejukan jiwa itu. Salah satu di antara praktek ritual keagamaan itu adalah dalam dunia tasawuf yang bagi masyarakat umum, pelaksanaan praktek tasawuf biasanya tergabung dalam perkumpulan tarekat. Kegiatan dalam tarekat terutama ditujukan untuk melatih dan mendidik serta membersihkan jiwa demi tersebarnya kedamaian dunia dan akhirat (Shihab, 2009 : 185). Pelatihan itu dilakukan secara sistematis dan terus menerus sehingga para pengikut tarekat dapat mencapai tujuan yang dimaksud. Proses pencapaian kesempurnaan tujuan hidup yang dilakukan oleh anggota kelompok tarekat inilah yang kemudian dikenal dengan menempuh jalan sufi.

Jalan sufi merupakan perjalanan batin yang bertujuan untuk mengetahui siapa kita sebenarnya, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan pergi (Nasr, 2010 : 20). Jalan itu juga bertujuan untuk mengetahui hakekat dasar Realitas, yang juga Kebenaran sebagaimana adanya. Tasawuf menyediakan jalan untuk membangunkan kita dari mimpi yang membuat kita lupa tentang siapa diri kita dan memungkinkan kita untuk masuk ke dalam serta tetap berada dalam ingatan pada Realittas Ilahi, yang juga merupakan inti dari diri kita, Diri dari segenap diri. Jalan sufi menggiring kita keluar dari gurun badaniah, tempat yang hanya di dalamnya sajalah kita dapat mewujudkan identitas sejati kita dan dapat mengetahui siapa kita. Pesan tasawuf itu abadi karena watak manusia selalu sama, tak terjangkau kebetulan aksidental oleh epos-epos sejarah dan gaya hidup zaman ini. Pada dasarnya jalan sufi adalah untuk menuntun manusia mencapai tujuan hidupnya, yakni menjawab 3 (tiga) pertanyaan pokok yang sangat mendasar bagi setiap orang;. Pertanyaan itu meliputi siapakah kita, dari mana kita datang, apa yang kita lakukan di sini dan ke mana kita akan pergi (Nasr, 2010 : 15)

Begitu kita menemukan siapa diri kita dalam pengertian spiritual, kita memperoleh wawasan tentang misteri dari mana kita berasal sebelum kafilah kehidupan duniawi ini. Kemudian kita mengawali perjalanan di bawah kesadaran ini, untuk selanjutnya menyingkap misteri ke mana kita akan pergi setelah mengakhiri perjalananan di bumi ini. Pengetahuan spiritual tentang diri dalam dunia tasawuf (jalan sufi) juga akan membuka tirai yang membatasi kesadaran sehari-hari kita dan akhirnya mengarah ke dalam keadaan kesadaran lebih tinggi yang berdiri di atas dunia yang ada. Kita lalu mampu menyadari realitas manusiawi kita dan identitas tertinggi kita melampaui batas-batas ruang dan waktu. Tasawuf memungkinkan tersibaknya tirai belenggu diri, karena ia mengantarkan sang pencari ke sebuah perjalanan batin di dalam perjalanan di jalan Hukum Suci atau Syari’ah (Nasr, 2010 : 20)

Semenrata itu, pengertian Tarekat sendiri mengacu kepada definisi yang ditulis oleh Dr. Alwi Shihab, PH.D., kata tarekat berasal dari bahasa Arab, “al-thariqah” yang berarti jalan yang ditempuh dengan berjalan kaki. Dari pengertian ini kemudian digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan baik terpuji maupun tercela. Sedangkan pengertian tarekat dalam perspektif tasawuf secara umum mengacu pada metode latihan atau amalan (dzikir, wirid, muraqabah), juga pada institusi guru dan murid yang tumbuh bersama (Shihab, 2009 : 183). Menurut istilah tasawuf sendiri, tarekat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah SWT. Perjalanan itu dilakukan dengan mengikuti jalur tertentu yakni sebuah tahapan dan seluk – beluknya yang telah ditetap secara baku.

Di Indonesia, sebagaimana di dunia Islam pada umumnya keberadaan tarekat begitu bervariasi, termasuk salah satunya tarekat “Asy-Syahadatain” yang terdapat di kampong Wanantara, Desa Wanasaba Kidul, Kecamatan Talun,, Kabupaten Cirebon yang akan diteliti ini. Bagaimanapun tarekat, atau betapapun bervariasi namanya, tetap satu tujuan; yakni suatu tujuan moral yang mulia. Tidak terdapat perbedaan terdapat secara prinsipil antara satu tarekat dengan lainnya. Perbedaan biasanya terletak pada jenis wirid dan dzikir serta cara pelaksanaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Taufik al-Thawil, “wirid yang menentukan karakteristik setiap tarekat (Shihab, 2009 : 183).

Studi tasawuf yang kami lakukan dalam penelitian ini, tidak akan membahas ajaran tasawuf secara substansi, karena bahasan demikian sepantasnya dilakukan oleh mereka yang menempuh pendidikan pada program studi agama di fakultas Ushuluddin misalnya. Studi yang akan kami lakukan adalah dari aspek sosiologis pada kelompok masyarakat yang menganut tarekat dalam pelaksaan ritual baik di tengah komunitas internal maupun dalam pergaulan dengan masyarakat lainnya. Studi dalam penelitian ini merupakan elaborasi empiric terhadap praktek penggalaman keagamaan yang terjadi pada masyarakat pengikut tarekat “Asy-Syahadatain” yang terdapat di kampong Wanantara, Desa Wanasaba Kidul, Kecamatan Talun,, Kabupaten Cirebon. Meskipun memakai “miniature kecil” dalam kajian tasawuf ini hanya pada masyarakat penganut ajaran tarekat di atas, namun menurut pertimbangan penulis hal ini diharapkan mempunyai bobot akademis yang cukup. Ada beberapa pertimbangan yang dapat penulis ajukan sehubungan denga maksud tersebut tadi. Pertama, karena studi yang akan dilakukan dalam penelitian ini merupakan penelitian langsung di lapangan (field research), yang biasanya hasil kajian dalam bidang tasawuf hanya terbatas kepada kajian tek atau naskah yang sudah ada, atau studi terhadap para tokoh. Hal ini pernah mengundang kritik dari beberapa pakar seperti, Azyumardi Azra, Taufik Abdullah yang menyebutkan pada umumnya kajian dalam “Islamic studies” termasuk tasawuf di Indonesia cenderung normatif, miskin pendekatan historis sosiologis dan antrofologis. Mereka menyebutkan kajian yang dikembangkan cenderung berkutat pada dunia teks dari pada dunia konteks, meskipun tidak selalu demikian

Harapan kedua, studi ini diharapkan mampu menguak pengalaman keagamaan yang diperoleh kelompok masyarakat penganut tarekat. Pengalaman keagamaan dalam dunia tasawuf biasanya bersifat pribadi atau subjektif, sehingga agak sulit untuk diaktulisasikan secara konseptual dalam pemahaman yang objektif. Walapun demikian penulis berharap dalam penelitian ini dapat dikaji dan mampu terungkap secara empirik pengalaman keagamaan yang diperoleh jama’ah pengikut tarekat untuk selanjutnya dapat ditransformasikan dalam kehidupan yang lebih empiric-realistis.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok masyarakat pengikut Tarekat “As-Syahadatain” yang terdapat di Kampung Wanantara, Desa Wanasaba Kidul, Kecamatan Talun kabupaten Cirebon. Studi ini mengkaji masalah aspek sosial yang dilakukan oleh kelompok masyarakat penganut tarekat dalam perspektif sufisme serta kaitanya dengan pencapaian kesempurnaan hidup. Secara khusus studi ini akan mengkaji bagaimana proses aktifitas (ritual) dalam perspektif sufisme yang dilakukan oleh penganut tarekat “Asy-Syahadatain” dalam pencapaian kesempurnaan hidup. Kemudian akan dikaji pula pengalaman keagamaan apa (seperti apa) yang diperoleh pengikut tarekat itu, serta bagaimana implikasi sosial dalam pergaulan (interaksi) bagi pengikut tarekat baik secara internal dalam komonitas, maupun dalam pergaulan sosial secara umum.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian terhadap kelompok masyarakat pengikut tarekat “Asy-Syahadatain” di Kampung Wanantara, Desa Wanasaba Kidul, Kecamatan Talun kabupaten Cirebon, bertujuan untuk menelusuri kehidupan sosial pada kelompok masyarakat pengikut tarekat dalam perspektif sufisme. Studi ini secara khusus akan ingin menguak (mengungkap) proses pencapaian kesempurnaan hidup melalui jalan sufi. Selain itu, studi ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman keagamaan yang diperoleh kelompok masyarakat pengikut tarekat, serta pengaruhnya dalam pergaulan sosial baik di kalangan internal pada komonitas keompok tarekat maupun di tengah kehidupan masyarakat.

1.4. Maksud dan Kegunaan Penelitian

Studi tentang kelompok masyarakat pengikut tarekat “Asy-Syahadatain” di Kampung Wanantara, Desa Wanasaba Kidul, Kecamatan Talun kabupaten Cirebon, dalam penelitian ini diharapkan berguna bagi dua aspek, yaitu aspek akademis dan aspek guna laksana, antara lain:

1. Aspek akademis: memperkaya khasanah kepustakaan Sosiologi terutama bidang Sosiologi Agama melalui kajian tasawuf pada kelompok pengikut tarekat.

2. Aspek praktis (guna laksana) : memberi masukan dan sumbangan pemikiran baik pengambilan kebijakan pembinaan dalam bidang kehidupan kehidupan keagamaan, dan penataan terhadap kehidupan para pengikut tarekkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar